Jalan Panjang Memasyarakatkan Kendaraan Listrik di Indonesia

Emisi dari kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber emisi CO2 terbesar yang berkontribusi kepada climate change. Untuk mengurangi dampak kendaraan bermotor terhadap climate change, sedikit demi sedikit kendaraan bermotor akan diganti menjadi kendaraan listrik. Dengan strategi yang tepat, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama di dalam industri kendaraan listrik.

Jalan Panjang Memasyarakatkan Kendaraan Listrik di Indonesia Photo: Aulia Septiadi

Kendaraan listrik dalam satu dekade belakangan ini telah menjadi pembicaraan hangat baik di kalangan masyarakat penggemar otomotif maupun awam. Perkembangan teknologi kendaraan listrik, khususnya mobil listrik menjadi sangat pesat. Diawali oleh populernya penjualan Nissan Leaf di tahun 2010 dan diikuti oleh Tesla Model S. Bahkan hingga Maret 2020, Tesla telah menjual mobil listrik lebih dari 1 juta unit. Kesuksesan Tesla sebagai sebuah perusahaan otomotif baru dalam menjual mobil listrik mendorong perusahaan otomotif mapan lainnya seperti BMW, Mercedes-Benz, Volkswagen, GM, Honda, dan Toyota berlomba-lomba untuk memasuki pasar jenis kendaraan ini.

Teknologi kendaraan listrik terus berkembang pesat melalui serangkaian penelitian yang intensif dan didukung dengan pendanaan yang besar, terutama terkait dengan teknologi penyimpanan energi atau baterai. Kelemahan terbesar dari kendaraan listrik dan sekaligus menjadi kekhawatiran masyarakat adalah terkait jarak tempuh yang dapat dicapai dalam sekali pengisian baterai. Saat ini sebagian besar model kendaraan listrik yang dijual di pasar telah memiliki jarak tempuh yang cukup nyaman bagi perjalanan rutin. Kendaraan listrik juga dapat diisi dari rumah atau kantor tanpa mengganggu aktivitas rutin pemiliknya. Sebagai imbas dari perkembangan teknologi kendaraan listrik yang pesat, harga kendaraan listrik saat ini sudah semakin mendekati harga mobil konvensional dan menjadi semakin terjangkau bagi pangsa pasar yang lebih luas. Berikut beberapa jenis mobil listrik yang berada di bawah harga 50.000 USD:

Berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), pasar mobil listrik di dunia saat ini dikuasai oleh China sebanyak 2,58 juta unit, diikuti oleh pasar Eropa sebanyak 0,97 juta unit dan pasar Amerika sebanyak 0,88 juta unit. China ternyata tidak hanya menjadi pasar terbesar bagi kendaraan listrik, namun juga menguasai rantai pasok dari industrinya, terutama di industri baterai. Baterai menjadi komponen utama dan terbesar yang berpengaruh terhadap harga dari sebuah kendaraan listrik. China memproduksi lebih dari 60% baterai litium, di mana bahan baku dari baterai litium, yakni Kobalt dan Grahite juga dikuasai oleh China. Hal ini menjadikan China sebagai negara yang sangat kuat dan menguasai teknologi sekaligus pasar kendaraan listrik. Terbukti, saat ini banyak sekali produsen otomotif di China yang telah menghadirkan produk mobil listrik dengan harga yang jauh lebih terjangkau dari produsen lainnya.

Potensi Indonesia Menjadi Pemain Utama dalam Industri Kendaraan Listrik

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat ditambah dengan jumlah populasi mencapai 260 juta lebih dan jumlah penduduk usia produktif lebih dari 60%, membuat Indonesia menjadi pasar potensial bagi produsen otomotif. Pada tahun 2019, penjualan mobil di Indonesia mencapai 1,02 juta unit, menjadi yang terbesar di antara negara-negara ASEAN. Dari nilai tersebut, baru sebanyak 600-unit mobil yang terjual berupa kendaraan listrik, namun sebagian besar peruntukannya adalah sebagai armada transportasi seperti taksi. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menangkap potensi pengembangan pasar mobil listrik ke depan melalui Perpres No. 55/2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Dalam kebijakan ini, pemerintah menargetkan percepatan pengembangan industri kendaraan listrik berbasis baterai dalam negeri, pemberian insentif, dan penyediaan infrastruktur pengisian listrik. Terakhir, pemerintah baru saja menerbitkan Permen ESDM No. 13/2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.

Meski porsi penjualan mobil listrik masih kecil, namun Indonesia berpeluang menjadi salah satu pemain utama industri kendaraan listrik seperti China. Selain potensi pasar yang sangat terbuka, Indonesia juga memiliki potensi bahan baku nikel yang dapat diolah menjadi bahan untuk pembuatan baterai litium. Komponen baterai selama ini mengkonsumsi sekitar 40-60% dari keseluruhan harga mobil listrik. Saat ini Indonesia merupakan negara produsen Nikel terbesar di dunia. Pembangunan proyek industri baterai litium telah dimulai di Morowali, Sulawesi Tengah oleh konsorsium perusahaan China termasuk perusahaan baterai GEM Co Ltd dan unit pembuat baterai litium Contemporary Amperex Technology Ltd (CATL) dan pembuat baja tahan karat Tsingshan Holding Group. Dengan investasi baru ini, Indonesia diharapkan akan menjadi salah satu hub utama dari industri kendaraan listrik global. Beberapa investor dari negara produsen otomotif terkemuka seperti dari Amerika, Korea dan Jepang juga sudah menjajaki kemungkinan untuk membangun industri baterai di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pemberlakukan kebijakan pemerintah yang melarang ekspor biji mentah nikel dan mendorong pengolahannya lebih lanjut agar memiliki nilai tambah di dalam negeri.

Sebagai calon pemain utama dalam rantai pasok komponen baterai dan memiliki pasar yang potensial, Indonesia sudah mulai dilirik oleh berbagai produsen kendaraan listrik untuk berinvestasi mendirikan pabriknya di Indonesia. Sebagai awalan, Hyundai Motor telah mengumumkan untuk berinvestasi sebesar 1,55 miliar dollar hingga tahun 2030 untuk membangun pabrik di Indonesia yang didedikasikan sebagian besar untuk produksi mobil listrik bagi kawasan Asia Tenggara. Sebagai salah satu tanda keseriusannya menggarap pasar domestik, Hyundai telah meluncurkan produk mobil listrik termurah yang saat ini tersedia di pasar Indonesia. Hyundai Iqonic dan Hyundai Kona yang baru saja dirilis di kisaran 640an juta rupiah.

Tantangan Memasyarakatkan Kendaraan Listrik

Meski potensi pasar dan rantai pasokan memungkinkan Indonesia menjadi salah satu pemimpin dalam industri kendaraan listrik global, namun kendaraan listrik masih memerlukan jalan yang cukup panjang untuk dapat dipakai masyarakat umum, beberapa tantangan diantaranya terkait isu daya beli masyarakat, model kendaraan, dan infrastruktur pengisian baterai. Selain itu, isu lingkungan juga menjadi tantangan yang tidak terpisahkan.

Dengan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia sebesar US$ 4,050 pada tahun 2019, berdasarkan laporan dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), sebanyak 60% masyarakat baru memiliki daya beli kendaraaan bermotor pada kisaran harga di bawah 250 juta rupiah. Sehingga kendaraan listrik masih termasuk dalam kategori kendaraan mewah di Indonesia, meski untuk kelas yang paling murah sekalipun seperti Hyundai Iqonic dan Kona. Perpres No. 55/2019 telah menyebutkan bahwa kendaraan listrik akan memperoleh insentif, namun kebijakan terkait ini baru akan dilaksanakan pada Oktober 2021 melalui pelaksanaan PP No. 73/2019 yang mengenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor secara progresif berdasarkan tingkat konsumsi bahan bakar dan emisi karbondioksida. Meski demikian, pemerintah DKI Jakarta sudah berinisiatif mendukung pelaksanaan Perpres 55/2019 melalui Pergub No. 3/2020 tentang pemberian insentif Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) atas kendaraan bermotor listrik berbasis baterai menjadi 0%. Meski insentif daerah telah diterapkan, penetrasi mobil listrik juga masih rendah karena harga belinya tetap masih terhitung di atas kemampuan rata-rata masyarakat. Secara umum, meski biaya kepemilikan kendaraaan listrik (total cost of ownership) jauh lebih rendah dari pada kendaraan konvensional karena biaya operasionalnya yang sangat rendah, namun masyarakat masih melihat biaya awal pembelian sebagai indikator utama dalam membeli kendaraan. Sehingga dibutuhkan insentif dan model pembiayaan yang tepat untuk memudahkan masyarakat dalam membeli mobil listrik dengan harga yang terjangkau.

Selain persoalan harga, pasar di Indonesia juga sensitif terhadap model dari kendaraan yang dipasarkan. Lebih dari 60% kendaraan yang terjual di Indonesia adalah model kendaraan serbaguna (Multi-Purpose Vehicle atau MPV), lalu diikuti model kendaraan urban (city car) dan Sport Utility Vehicle (SUV). Sementara itu sebagian besar model kendaraan listrik yang saat ini ada di pasar global adalah model sedan. Model ini pada tahun 2019 berdasarkan data dari GAIKINDO terhitung memiliki pangsa pasar yang sangat kecil di Indonesia dan terjual tidak lebih dari 0,7% dari total volume penjualan mobil nasional. Hal ini perlu menjadi perhatian tersendiri bagi para produsen mobil listrik yang akan masuk ke pasar Indonesia agar menyesuaikan dengan selera pasar yang ada.

Tantangan lain yang dapat menghambat penetrasi kendaraan listrik adalah ketersediaan infrastruktur pengisian baterai. Saat ini di dunia dikenal dua jenis stasiun pengisian baterai, yakni slow charging yang menggunakan daya listrik di rumah tangga, dan fast charging yang biasanya dipasang di tempat publik seperti mall, perkantoran, taman, dan tempat parkir dan dapat mencapai pengisian penuh dalam waktu 1,5 jam. Keberadaan infrastruktur ini, terutama fast charging akan sangat mempengaruhi minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik, mengingat jarak tempuh dari kendaraan listrik yang terbatas dan dibutuhkan waktu pengisian yang tidak pendek. Infrastruktur ini perlu dibangun dalam sinergi antara publik dan swasta sehingga pembangunannya dapat berjalan dengan cepat. Permen ESDM No. 13/2020 telah mengatur berbagai opsi bisnis model tempat pengisian baterai, namun efektifitasnya masih perlu diuji. Disamping itu, saat ini juga teknologi pengisian baterai terus berkembang dan belum menemui konsensus yang sama di antara para pengembang teknologi, di antaranya adalah berkembangnya teknologi pertukaran baterai (battery swap).

Kendaraan listrik diharapkan menjadi solusi pengurangan polusi udara dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang biasa disumbang oleh kendaraan berbahan bakar fosil. Namun, di Indonesia berkembangnya kendaraan listrik ke depan justru meningkatkan kekhawatiran publik akan potensi peningkatan polusi dan emisi GRK karena hingga saat ini listrik yang dihasilkan di Indonesia masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara. Oleh karena itu, penetrasi energi terbarukan ke dalam bauran energi nasional menjadi kebutuhan yang mendesak dan sekaligus dibutuhkan kebijakan penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Karena jika tidak demikian, maka kita hanya akan memindahkan sumber polusi dan emisi GRK dari kendaraan ke pembangkit listrik.



adalah dosen di bidang ekonomi energi di School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia, Senior Analyst di Climate Policy Initiative (CPI), dan sekaligus anggota Dewan Pakar di Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI).

You need to login to write a comment!