Optimasi Penyaluran Bantuan Sosial yang Problematik di Tengah Pandemi Covid-19

Optimasi Penyaluran Bantuan Sosial yang Problematik  di Tengah Pandemi Covid-19

Bantuan sosial (bansos) sebagai instrumen andalan pemerintah Indonesia untuk menjaga daya beli masyarakat serta menanggulangi permasalahan sosial ekonomi di masa krisis ekonomi seperti saat ini, tampaknya banyak menemui jalan terjal dalam praktik penyalurannya. Permasalahan itu pun juga ditemui hampir di seluruh lini, dari hulu hingga hilir. Dari hulu, permasalahan timbul terkait dengan validitas data penerima bansos, sementara dari hilir, pada umumnya masalah timbul akibat tidak tepat sasarannya penyaluran bansos di masyarakat. Penyaluran bansos yang cenderung problematik tersebut, pada akhirnya tidak mampu berperan sesuai dengan semestinya, yaitu menjaga daya beli masyarakat dan menanggulangi permasalahan sosial ekonomi di tengah ketidakpastian akibat penyebaran Covid-19. Maka dari itu, tulisan ini berusaha untuk memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan bagaimana solusi yang paling optimal dalam hal penyaluran bansos kepada masyarakat, khususnya di tengah pandemi Covid-19.

Gejolak ekonomi berkepanjangan dan suramnya kinerja ekonomi 2020

Gejolak ekonomi yang berkepanjangan sepertinya menjadi momok yang menakutkan bagi hampir seluruh negara di dunia. Ekonomi dunia yang mengalami perlambatan sejak 2018 akibat semakin maraknya kebijakan populis negara-negara berpengaruh di dunia, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta faktor-faktor eksternal lainnya, seperti penurunan harga komoditas dan volume perdagangan, sebenarnya telah membuat beberapa negara kehabisan akal untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonominya ke arah yang positif. Namun, di akhir 2019 dan awal 2020, ekonomi dunia semakin terbebani oleh penyebaran wabah Covid-19 yang dampaknya lebih dahsyat terhadap perekonomian secara umum.

Beberapa lembaga, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Economist Intelligence Unit (EIU), dan beberapa lembaga lainnya juga telah merevisi proyeksi

Tabel 1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia 2020–2024

yang tidak satu pun menunjukkan adanya tren positif terkait laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 ini. Tabel 1 menunjukkan proyeksi pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah di dunia yang dilakukan oleh EIU per data 9 April 2020. Berdasarkan Tabel tersebut hampir seluruh wilayah di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, kecuali wilayah Asia dan Australasia, meskipun kemungkinan akan membaik di tahun-tahun berikutnya (2021–2024).

Sementara itu, khusus untuk Indonesia, dalam jumpa pers di awal April 2020, Kementerian Keuangan menyampaikan dua skenario kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kemungkinan akan terjadi pada tahun 2020 (lihat Tabel 2). Skenario yang resmi dirilis pemerintah tersebut juga identik dengan proyeksi yang dilakukan Damuri dan Hirawan (2020) dalam skenario pesimis dan status quo (0–3%) serta McKibbin dan Fernando (2020) yang super pesimis di kisaran -1,3 hingga -4,7%. Angka-angka dari tiga sumber yang berbeda tadi sangat jauh dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu sebesar 5,3%.

Tabel 2. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2020

Melemahnya Daya Beli Masyarakat dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pelemahan ekonomi akibat penyebaran Covid-19 ini pada dasarnya seperti layaknya sebuah serial drama yang merupakan lanjutan atau tambahan dari serial sebelumnya terkait perlambatan ekonomi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Suramnya kinerja ekonomi Indonesia mulai dapat dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah yang diakibatkan oleh ekonomi yang memang mulai melambat sejak 2018 ditambah dengan terpaan badai Covid-19 yang masih belum jelas kapan akan berlalu. Ketidakpastian ini pada akhirnya memang telah menghantam beberapa komponen pertumbuhan ekonomi, mulai dari konsumsi rumah tangga hingga perdagangan.

Terkait konsumsi rumah tangga, komponen ini memang menjadi perhatian yang sangat serius bagi pemangku kepentingan di Indonesia. Di masa krisis ekonomi dan keuangan 2008, masih teringat di benak kita bahwa sektor konsumsi rumah tangga mampu meredam gejolak ekonomi pada saat itu dimana Indonesia masih mampu tumbuh di kisaran 4% di tahun 2009. Hal itu terjadi karena memang berdasarkan struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menurut sisi pengeluaran, sektor konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 55–60%, disusul pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi di kisaran 30%.

Penyebaran Covid-19 ini telah berdampak sangat signifikan terhadap kinerja ekonomi Indonesia, khususnya dari sisi konsumsi rumah tangga. Penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa wilayah, terutama di kota-kota besar yang merupakan denyut nadi perekonomian Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan kota lainnya, secara langsung telah menurunkan kinerja ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Aktivitas pasar, kantor, dan pusat-pusat ekonomi lainnya mengalami penurunan yang sangat signifikan. Meskipun pelaksanaan PSBB secara umum baru dilakukan di bulan April, kabar kurang menggembirakan terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal pertama 2020 (Januari–Maret), yaitu 2,85% (yoy) dari 4,97% (yoy) di kuartal sebelumnya (lihat Gambar 1). Artinya, dapat kita bayangkan bagaimana penurunan konsumsi rumah tangga nanti setelah memperhitungkan dampak pelaksanaan PSBB (yang hampir serentak dilakukan di bulan April 2020) atau dengan kata lain, penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga tampaknya akan lebih mengkhawatirkan lagi di kuartal kedua 2020 nanti.

Gambar 1. Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (yoy, %)

Gambar 1. Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (yoy, %)

Kinerja ekonomi Indonesia memang pada dasarnya sudah melambat sejak akhir tahun 2019 yang diakibatkan oleh perlambatan ekonomi global, baik yang berasal dari gangguan eksternal (seperti perang dagang dan penurunan harga komoditas) dan internal (termasuk lambatnya reformasi struktural dan birokrasi, kinerja fiskal dan moneter yang kurang baik, serta stagnannya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi). Namun, yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bagaimana mengantisipasi pelemahan yang lebih dalam lagi akibat penerapan PSBB yang rentan membuat kinerja ekonomi, khususnya konsumsi rumah tangga, lebih terpuruk lagi. Bantuan sosial (bansos) tampaknya merupakan jawaban dari itu semua, akan tetapi instrumen ini juga diselimuti permasalahan yang tidak sederhana atau bahkan lebih problematik dibandingkan instrumen fiskal lainnya yang bertujuan untuk menopang konsumsi rumah tangga.

Bantuan Sosial Sebagai Penopang Daya Beli di Tengah Pandemi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perlambatan ekonomi yang kemungkinan akan diperparah setelah memperhitungkan dampak dari penerapan PSBB membuat kinerja ekonomi Indonesia terkontraksi lebih dalam lagi dan sektor konsumsi rumah tangga, sebagai kontributor utama, kemungkinan akan semakin terpuruk. Pemerintah pada dasarnya sudah merespons dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2020 sebagai turunan Peraturan Perundang-Undangan (Perppu) No. 1/2020 yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) No. 1/2020 pertengahan Mei 2020 lalu. Stimulus fiskal sebesar Rp405,1 triliun telah dialokasikan untuk mendorong perbaikan di beberapa sektor, antara lain kesehatan (Rp75 triliun), dukungan industri (Rp70,1 triliun), jaring pengaman sosial (Rp110 triliun), dan program pemulihan ekonomi (Rp150 triliun).

Jaring pengaman sosial ini memang sangat dibutuhkan untuk menjaga daya beli masyarakat. Apalagi di tengah pandemi, proyeksi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memperkirakan peningkatan jumlah orang miskin di Indonesia di kisaran 1,16–3,78 juta orang, sementara itu, Bank Dunia dan SMERU Research Institute pun melakukan proyeksi tingkat kemiskinan yang masing-masing memprediksi pertambahan jumlah orang miskin di kisaran 5,6–9,6 juta dan 1,3–8,4 juta orang secara berurutan. Kondisi tersebut jelas sangat mengkhawatirkan dan bahkan dapat membuat persentase tingkat kemiskinan di Indonesia akan kembali ke level dua digit.

Maka dari itu, bantuan sosial (bansos) tampaknya merupakan instrumen yang tepat untuk dapat menopang atau setidaknya meminimalisir kontraksi yang lebih dalam terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari Rp110 triliun yang dialokasikan untuk jaring pengaman sosial, Rp65 triliun diperuntukkan untuk tambahan jaring pengaman sosial sebelumnya (Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Pra Kerja, pembebasan dan diskon tarif listrik, dan insentif perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah), Rp25 triliun untuk cadangan pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar, Rp19 triliun untuk penyesuaian anggaran pendidikan untuk penanganan Covid-19. Khusus untuk program bansos, pemerintah juga mengalokasikan sebesar Rp3,42 triliun untuk bansos sembako dan Rp16,2 triliun untuk bansos tunai.

Gentilini dan beberapa penulis lainnya (2020) menyampaikan bahwa sejak 1 Mei 2020, 159 negara di dunia telah merencanakan, memperkenalkan, atau mengimplementasikan 752 program perlindungan atau jaring pengaman sosial, 455 program (60%) diantaranya berbentuk skema bansos. Dan dari 455 program tersebut, 54% diantaranya berbentuk bansos tunai (cash), baik bersyarat maupun tidak bersyarat. BKF pun menjadikan studi tersebut sebagai dasar pertimbangan penyaluran bansos di Indonesia sebagai penopang daya beli masyarakat di tengah pandemi ini. Pemerintah memang pada dasarnya berusaha menjaga daya beli dan mengurangi beban rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah bukan hanya melalui bansos, melainkan juga melalui subsidi, relaksasi pajak, dan lain sebagainya. Namun, meskipun begitu, alokasi dana sebesar Rp19,62 triliun untuk program bansos untuk tiga (3) bulan masa pandemi, yaitu April–Juni 2020, akan tidak berarti sama sekali ketika penyalurannya tidak tepat sasaran atau dengan kata lain banyak permasalahan yang akan muncul, baik dari sisi hulu (pendataan) hingga hilirnya (sampai ke tangan penerima bansos).
Gambar 2. Aspek Penting Penyaluran Bantuan Sosial

Gambar 2. Aspek Penting Penyaluran Bantuan Sosial

Optimasi Penyaluran Bantuan Sosial yang Problematik

Penyaluran bantuan sosial (bansos) memang sangat problematik. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh kurang siapnya pihak yang menyalurkan, dalam hal ini pemerintah, mulai dari segi pendataan sampai dengan diterimanya bansos oleh keluarga penerima manfaat (KPM). Barany dan beberapa penulis (2020) berpendapat bahwa setidaknya ada empat (4) aspek yang perlu diperhatikan agar penyaluran bansos dapat berjalan secara efektif dan efisien, diantaranya cakupan bansos, skema bansos, durasi pandemi dan kesiapan pemerintah, dan mekanisme distribusi bansos (lihat Gambar 2). Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan aspek yang sama, namun dengan beberapa ide yang sedikit berbeda atau memodifikasi dengan penyertaan hal-hal terpenting terkait penyaluran bansos di tengah pandemi ini.

Pertama, aspek cakupan penerima bansos merupakan tahapan awal dari penyaluran distribusi bansos, karena pada dasarnya perlu ada data yang valid terkait kelompok masyarakat yang berhak menerima bansos. Pemutakhiran data keluarga miskin di tengah pandemi wajib dilakukan karena krisis ekonomi yang diakibatkan oleh Covid-19 ini telah menarik beberapa kelompok yang tadinya “tidak berhak” mendapatkan bansos menjadi “berhak.” Basis Data Terpadu (BDT) atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tampaknya perlu diperbarui agar dapat menjaring kelompok masyarakat yang terdampak secara signifikan akibat pandemi ini. Para pekerja yang dirumahkan tanpa gaji secara temporer dan permanen, pekerja informal, dan bahkan para pekerja yang masih bekerja akan tetapi mendapatkan potongan gaji yang begitu besar (hingga 50% pemotongan), Penerapan PSBB yang mendorong masyarakat untuk bekerja dan belajar dari rumah secara otomatis meningkatkan beban biaya bagi rumah tangga, khususnya tagihan listrik. Maka dari itu, pembaruan data penerima bansos wajib dilakukan dan sebaiknya tidak hanya mencakup 40% kelompok masyarakat berpendapatan rendah, akan tetapi sebaiknya sampai dengan 50–60% masyarakat berpendapatan rendah.

Kedua, aspek skema bansos yang menjadi polemik selama ini, khususnya terkait apakah lebih baik memberikannya dalam bentuk tunai atau nontunai? Pemerintah pada dasarnya telah merencanakan dan menjalankan dua bentuk program bansos, yaitu bansos sembako dan tunai. Untuk bansos sembako sendiri isinya berupa beras, minyak goreng, sarden, kornet, teh celup, kecap manis, sambal botol, mie instan, sabun mandi, dan susu UHT yang diantarkan ke rumah penerima setiap dua (2) minggu, bekerja sama dengan PT Pos Indonesia dan transportasi online (daring). Sementara itu, untuk bansos tunai bentuknya berupa uang tunai sebesar Rp600.000 per keluarga per bulan yang disalurkan melalui PT Pos Indonesia dan Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA). Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2019, penduduk yang berada pada garis kemiskinan, rata-rata pengeluaran per kapita di perkotaan sebesar Rp442.063 dan Rp404.398 di perdesaan per bulannya. Sementara itu, pengeluaran untuk konsumsi makanan per kapita per bulan di perkotaan sebesar Rp316.687 dan Rp309.287 di perdesaan. Dari statistik tersebut, kita lihat memang dapat diketahui bahwa lebih dari 70% pengeluaran dipergunakan untuk konsumsi makanan. Maka dari itu, skema bansos berupa sembako ataupun tunai sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di masa pandemi. Meskipun begitu, jika dilihat dari efektivitas dan efisiensinya terkait skema bansos, penulis berpendapat bahwa skema bansos tunai (dengan jumlah dua (2) kalo lebih besar dari nilai ratarata pengeluaran per kapita (minimal Rp800.000 per bulan) lebih baik dengan pertimbangan bahwa keluarga penerima manfaat (KPM) akan memiliki fleksibilitas dalam penggunaan uangnya (konsumsi atau pembayaran utang) di masa darurat akibat wabah Covid-19 ini.

Ketiga, aspek durasi pandemi dan kesiapan pemerintah yang menjadi kunci efektivitas penyaluran bansos. Ketidakpastian kapan wabah Covid-19 ini akan berakhir tampaknya menjadi misteri tersendiri bagi pemerintah Indonesia dalam merancang kebijakan ekonomi terkait penyaluran bansos. Kurva pasien positif terpapar Covid-19 yang tak kunjung melandai dan simpang siurnya penerapan PSBB di beberapa daerah menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan bansos ini. Yang terpenting adalah pemerintah harus bergerak cepat dan memberikan prioritas bagi kelompok yang masyarakat yang sudah terganggu daya belinya dan sulit untuk bertahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya terkait dengan pangan. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan pemetaan prioritas penyaluran bansos berdasarkan jangka waktu yang berbeda, yaitu pendek dan menengah. Tiga (3) bulan penyaluran bansos (April–Juni 2020) tampaknya tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup masyarakat miskin karena sampai dengan pertengahan bulan Mei 2020, pergerakan pasien terpapar Covid-19 masih terus meningkat. Perlu skema bansos minimal 6 bulan ke depan (April–September 2020) atau bahkan hingga Desember 2020 jika pandemi ini terus berkepanjangan. Kesiapan pemerintah dalam menyediakan dan menyalurkan bantuan sosial sampai dengan waktu tertentu (dengan skenario terburuk, yaitu maksimal hingga Desember 2020) menjadi kunci keberhasilan dari penyaluran bansos bagi kelompok masyarakat miskin.

Keempat, aspek mekanisme distribusi bansos yang menjadi saluran terakhir sebelum sampai ke keluarga penerima manfaat (KPM). Terkait hal ini, pada intinya diperlukan mekanisme distribusi yang sederhana dan praktis sehingga penyaluran bansos akan lebih cepat dan tepat sasaran. Semakin majunya teknologi digital di Indonesia mungkin saja menjadi jawaban terkait dengan mekanisme distribusi bansos, akan tetapi apakah infrastruktur digital ini sudah merata di seluruh wilayah Indonesia? Mekanisme melalui teknologi digital memang sangat praktis dan cepat sehingga penyaluran bansos akan lebih efektif dan efisien. Dalam hal ini lagi-lagi perlu dilakukan pemetaan terkait KPM, sehingga pemerintah dapat mempertimbangkan mekanisme distribusinya, apakah melalui transfer uang atau voucher yang dapat langsung diuangkan atau dibelanjakan melalui aplikasi seluler (smartphone) atau masih perlu mewajibkan KPM untuk datang ke kantor PT Pos Indonesia atau Bank Milik Negara yang memiliki jangkauan paling luas (misalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI)). Intinya, penyaluran bansos harus praktis, mudah, dan sederhana, sehingga bansos dapat sampai dengan cepat dan tepat pada kelompok masyarakat yang benar-benar berhak menerimanya.

Kesimpulan

Pada akhirnya, selain keempat aspek yang telah disebutkan di atas, penyaluran bantuan sosial (bansos) diharapkan dapat dikelola dengan baik dengan menjunjung tinggi nilai transparansi dan akuntabilitas. Tata kelola yang dimaksud adalah perlu adanya komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi (sinergi) yang apik secara horisontal dan vertikal. Sinergi horisontal disini erat kaitannya dengan kerja sama antar lembaga yang sama tingkatannya, seperti antar Kementerian dan Lembaga Negara yang terkait, sementara sinergi vertikal terkait dengan kerja sama antar lembaga dengan tingkatan yang berbeda, seperti antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, peran aktif masyarakat juga perlu diperhitungkan agar penyaluran bansos dapat optimal dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang benar-benar membutuhkan atau dalam keadaan darurat. Peran aktif masyarakat disini dapat berupa melakukan registrasi mandiri dalam rangka self-reporting dengan bantuan unit pemerintahan terkecil (RT, Dusun, Lingkungan, dan lainnya) agar data keluarga penerima manfaat (KPM) bansos dapat lebih valid lagi. Kita semua berharap bahwa penyaluran bansos akan tepat sasaran dan mampu secara cepat memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang terdampak akibat penyebaran virus Covid-19. Selain itu, mekanisme penyaluran bansos harus dilakukan secara praktis, mudah, dan sederhana agar tujuan dari adanya kebijakan ini dapat terwujud tanpa ada permasalahan yang berarti.
 



Fajar B. Hirawan adalah Assistant Professor (Development Economics) di School of Government and Public Policy Indonesia dan peneliti Departemen Ekonomi di CSIS Indonesia.

You need to login to write a comment!