Pendidikan tinggi di Indonesia pasca Covid-19

Pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia pasca Covid-19 harus lebih efektif dan efisien. Kerjasama antar pemangku kepentingan harus terus ditingkatkan.

Pendidikan tinggi di Indonesia pasca Covid-19

Covid-19 berdampak hampir di semua sektor di Indonesia tidak terkecuali sektor pendidikan tinggi. Namun demikian diskusi tentang hal ini masih relatif sedikit dibandingkan dengan dampak Covid-19 terhadap perekonomian. Di negara-negara lain, misalnya di Amerika Serikat dan Australia, pembicaraan dan pemberitaan mengenai hal ini cukup intensif. USA Today bahkan memuat satu lembar artikel penuh tentang “Empty Universities” di Amerika. Selain itu, banyak universitas di Australia memberitakan bahwa mereka akan banyak kehilangan pendapatan karena turunnya jumlah mahasiswa asing yang belajar di Australia.

Saat ini ada kurang lebih 4,650 institusi pendidikan tinggi di Indonesia yang terdiri atas 872 akademi, 322 politeknik, 2,504 sekolah tinggi, 258 institut, 655 universitas, dan 39 akademi komunitas. Dari jumlah tersebut 399 atau sekitar 12 % adalah pendidikan tinggi negeri dan 4,247 atau sekitar 88 % adalah perguruan tinggi swasta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Surat Edaran (SE) Nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 memandatkan institusi perguruan tinggi untuk melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau pembelajaran daring. Hanya saja belum semua perguruan tinggi di Indonesia siap untuk melakukannya. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang kurang baik, terutama akses internet yang belum merata, pembelajaran daring yang masih dianggap baru bagi dosen maupun siswa dan lain-lain.

Tidak seperti institusi pendidikan tinggi negeri, pengelolaan pendidikan tinggi swasta hampir sama dengan pengelolaan sektor bisnis. Mereka mendapat pemasukan dari biaya kuliah mahasiswa, program pelatihan eksekutif berbayar dan penelitian. Mereka harus membayar gaji dosen dan karyawan serta biaya operasional lainnya seperti biaya perawatan gedung, listrik, dan lain-lain. Seperti sektor bisnis yang lain, institusi pendidikan swasta juga menjadi korban Covid-19. Penurunan jumlah tingkat pendaftaran mahasiswa baru dan juga kursus singkat berbayar secara langsung berdampak pada keberlangsungan operasional pendidikan tinggi.

Selain itu, tidak seperti sektor bisnis lainnya yang dapat mengeksploitasi siklus mingguan dan bulanan dalam menjalankan bisnis, pendidikan tinggi hanya mengandalkan pada satu variabel untuk bertahan hidup yaitu tingkat penerimaan mahasiswa baru dan pembayaran di setiap semester. Arus kas akan sangat bergantung kepada satu variabel yaitu waktu setiap semester. Jika guncangan terjadi pada satu semester, hal ini dapat mempengaruhi arus kas beberapa semester ke depan. Selain itu sektor perguruan tinggi belum pernah menghadapi hal seperti ini sebelumnya. Mereka mempunyai pengalaman dan daya tahan yang minim untuk menghadapi krisis seperti ini.

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa pendidikan tinggi adalah sektor yang defensif: siswa tetap membutuhkan pendidikan dan permintaannya seolah-olah tidak elastis. Namun untuk negara berkembang seperti Indonesia, pendidikan tinggi belum dipandang sebagai kebutuhan primer; meskipun pasar pendidikan tinggi telah tumbuh secara signifikan selama dekade terakhir.

Laporan Bank Dunia (2018) menunjukkan bahwa jumlah pendaftar perguruan tinggi yang dihitung sebagai rasio kelompok umur produktif hanyalah 36%. Dengan tidak adanya pasar kredit untuk pendidikan tinggi di Indonesia, hampir dapat diprediksikan bahwa pendaftaran perguruan tinggi sangat berhubungan dengan pendapatan keluarga yang saat ini sangat terdampak karena Covid-19.

Walaupun banyak universitas telah melakukan pembelajaran secara daring, hanya sedikit yang dapat menyelesaikan masalah. Dengan biaya kuliah yang tidak berubah, banyak calon siswa atau orang tua berpendapat bahwa sangatlah tidak adil jika mereka harus membayar biaya yang sama dengan pembelajaran secara langsung/tatap muka. Dampak ini khususnya sangat terasa untuk tingkat Pascasarjana yang biasanya biayanya relatif lebih besar dan dipandang sebagai kebutuhan tambahan.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan manajemen pendidikan tinggi di Indonesia untuk tetap bertahan pasca Covid-19. Pertama, perubahan model bisnis mereka dimana semua pemangku kepentingan harus bertransformasi ke arah digital. Pendekatan ini akan memperkuat bisnis perguruan tinggi dalam jangka menengah hingga jangka panjang. Namun tingkat ketahanan di jangka pendek tetap menjadi masalah karena transisi digital akan membutuhkan penyesuaian budaya dari sisi permintaan.

Kedua, dari segi biaya, beberapa perguruan tinggi disarankan untuk menurunkan biaya kuliah atau memberikan beasiswa. Hal ini tentunya tidak pernah terbayangkan dalam sejarah perguruan tinggi di Indonesia sebelumnya karena bisa dibilang hampir tidak ada institusi yang pernah menurunkan biaya kuliah. Kecenderungan saat ini adalah bahwa beberapa biaya di perguruan tinggi swasta naik dengan cepat dan bahkan biayanya hampir menyerupai dengan biaya kuliah di luar negeri. Konsekuensinya, belajar di luar negeri akan menjadi semakin menarik sebagai substitusi untuk pendidikan dalam negeri.

Ketiga, universitas harus terus meningkatkan kerja sama dengan pihak lain. Contohnya, kegiatan bersama seperti kolaborasi penelitian dengan sektor swasta dan publik, pengembangan dan pelatihan karyawan, atau kerja sama dalam bidang karir ke depan.

Keempat, seperti bisnis pada umumnya, tidak ada solusi yang efektif untuk masalah ini. Dukungan pemerintah khususnya dalam pembiayaan terhadap beberapa institusi perguruan tinggi dan penerapan kebijakan baru khususnya terhadap proses kemudahan perizinan pembelajaran daring sangat diperlukan saat ini.

New normal untuk metode pembelajaran tidaklah sama dengan new normal dalam bisnis. Kedepannya, institusi pendidikan tinggi harus menciptakan akses yang lebih baik untuk calon siswa di mana hasil dari proses pembelajaran tidak hanya menitikberatkan pada sertifikat atau ijazah saja. Pengelola perguruan tinggi harus dapat memasarkan atau menyesuaikan kebutuhan pasar seperti yang diperlukan oleh calon siswa.

Pada akhirnya, diperlukan adanya diskusi serius antar pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan tinggi bahwa new normal tidaklah sama dengan bisnis seperti biasanya.
 



Ony Jamhari adalah Chief Executive Officer (CEO) di School of Government and Public Policy Indonesia. Gilbert Sanjaya adalah pengamat Kebijakan Publik dan Alumni Department of International Development, University of Oxford.

You need to login to write a comment!